Proses

Masih banyak hutan perawan. Masih banyak gunung yang belum ditaklukan. Aku masih ada dibarisan paling belakang dari rombongan, tanpa kompas, tanpa api, apalagi makanan. Tapi aku masih terus berjalan menelusuri hutan mendaki gunung.
Hanya karena melihat rombongan terdepan ada sedikit kegerahan untukku terus berjalan. Terkadang mereka memangilku jika ada pohon tumbang yang menghalangi jalan. Hanya untuk memindahkan pohon, lalu aku dilempar beberapa depa kebelakang, selalu begitu. Terdengar jahat mungkin, tapi aku mulai terbiasa terkadang juga suka saat dilempar, aku bisa melihat deretan bintang indah bagai sungai susu.
Hari demi hari terus berlanjut tak ada perubahan, aku masih dibelakang tak tahu arah dan dilempar. Setiap hari juga tiada berubah aku selalu memikirkan seorang perempuan yang mungkin juga sedang melakukan hal sama sepertiku. Walau ribuan kali aku mengaku telah membuang hati kedalam tong sambah agar dibuat rebutan tikus-tikus kecil, tapi masih ada saja rasa di ruang kosong ini.
Rombongan depan menyalakan api ungun dan bernyayi didekatnya. Tenda-tenda mulai mereka bangun sendiri-sendiri, sayang tak ada tenda aku bawah. Malam ini lagi-lagi aku harus tidur dengan kehangatan bumi dan perlindungan langit, untunglah aku masih memaki baju sebagai seimbol harga diriku yang sudah tak berharga.
Tiba-tiba hujan membangunkan tidurku. Tidak ada keriuan berlebih didalam tenda, hanya aku yang riuh sendiri mencari perlindungan dibawah pohon beringin putih yang masih kecil. Kedinginan dan kelaparan membuat fikiranku mulai melayang-layang entah kemana.
Suara umpatan membangunkan pagiku. Sunggu adil tuhan membiarkan aku tidur dalam keadaan tak mungkin tidur. Rombongan mulai beraktifitas, mengemasi tendan, memasak makanan hangat, bercanda gurau.  Aku masih ada dibawah pohon yang sesekali ikut tertawa melihat tingkah rombongan.
Perjalanan dilanjutkan, seorang peria tinggi besar memimpi didepan. Ini pertama kalinya aku melihat pemimpin rombongan dari dekat. Untung tadi malam hujan jadi aku bisa sedikit tertawa karena rombongan dan sekarang bisa melihat pemimpin rombongan.
Suasana perjalanan mulai memanas. Aku perkirakan dari matahari diatas sekarang jam duabelas kurang, wajarlah para anggota rombongan mulai cemas dan lelah. Sedangkan pemimpin mereka telihat masih tenang dan menenangkan angotanya. Kalau aku juga kurang lebih sama, tapi bedanya jiwaku mulai merindukan kehangatan dekapan bundaku dirumah. Menolehkan wajahku dari rombongan melihat deretan pohon-pohon besar menerawang melihat perempuanku yang juga dikelilingi pepohonan. Tiba-tiba ada tangan mendekap bahuku, serentak aku menoleh ternyata rombongan sedang mengajaku meneruskan perjalanan.
Puncak gunung tercapai, lolos dari hutan yang perawan. Euphoria berlangsung, ucapan selamat dari orang-orang yang tak mengerti dari mana. Kamera-kamera menerjang mengambil momen yang jarang terjadi. Tapi aku tak ikut dalam euphoria, tak ikut diberi selamat dan tak ingin diambil gambar atas keberhasilan rombongan.
Setelah banyak gunung yang didaki, hutan yang diperwani ,ribuan euphoria tak berujung dan jarak yang harus aku ikhlaskan atas diriku untuk rombongan ini. Jarak yang tadinya jahu mulai merapat, rombongan mulai mengajakku bercanda terkadang pun berdiskusi walau kebanyakan aku hanya diam seperti orang bodoh yang tak tahu malu. Mungkin ini saatnya aku kabur, lari dari rombongan hidup sendiri dihutan.
Aku mulai menjahu, terlalu sering juga melihat kebelakang. Rombongan terlalu kuat untukku masuk. Dan akhirnya aku berjalan sendiri kebelakang, menikmati alam sendiri. Tapi jika itu aku lakukan itu bukan aku, aku lahir bukan untuk kalah atau menyerah bukan juga untuk optimis dan menang terus menerus. Aku lahir untuk berteman, bersahabat. Maka aku tak jadikan lagi rombongan sebagai dewa tapi aku jadikan mereka teman, sahabat.
Dan pada satu titik yang memuncak aku ya aku berada didepan rombongan memimpin angota rombongan untuk mencapai tujuan euphoria yang lain.[]