Roland Barthes mengatakan, langue tidak mungkin ada tanpa
adanya parole begitu juga sebaliknya. Secara esensial, langue adalah suatu
kontrak kolektif, siapa pun yang ingin menggunakannya untuk berkomunikasi
harus tunduk sepenuhnya pada aturan-aturannya. Sedangkan parole, tindakan
individual.
Kedua terma ini tidak akan memiliki pengertian yang penuh,
jika berdiri sendiri. Langue tidak akan ada secara sempurna kecuali dalam
“massa penutur”. Orang tidak bisa menyentuh suatu parole kecuali jika telah
mengembalikannya ke dalam langue. Kurang lebih seperti itu gambaran
dialektika langue dan parole yang di jalaskan Barthes.
Namun, apakah parole bisa nampak pada sebuah tulisan.
Mungkinkah seorang dari daerah pantai, yang memiliki dialek keras, bisa
terlihat dalam tulisannya. Dan, seorang Solo, apakah akan lembut juga dalam
tulisan.
Tetapi sudah, sudah saya cukupkan sampai disini tentang
langue dan parole. Karena, sebenarnya saya hanya ingin berbegi kebosanan
membaca, khususnya narasi dan deskripsi panjang lebar.
Ditanggan saya sekarang ada dua buku, Negeri Senja milik
Seno Gumira Ajidarma dan Franz Kafkah, metamorfhosis. Saat membaca Negeri
Senja, saya sudah tidak tahan pada bab-bab awal. Seno terlalu bertele-tele
menjelaskan Negeri Senja. Saya pikir semua orang tahu tentang sebentuk senja.
Tapi kenapa samapi mengatakan “Negeri Senja cuam bayangan hitam tembok-tembok
beku perbentengan yang tua. Banteng semacam itu sudah tidak ada artinya lagi
sekarang, . . . Negeri Senja hanya tampak sebagai bayangan hitam karena di
latar belakangnya tampak lempengan bola matahari….”
Franz Kafkah juga sama, dia sebenarnnya hanya
mendiskripsikan seorang tokoh yang melihat jendela. Lalu kenapa samapai harus
“Mata Gregor kemudian beralih ke
jendela, dan cuaca buruk -rintik hujan bisa terdengan menghajar logam berai
jendela- membuatnya merasa sangat melankolis.”
Saya pikir ada nada sumbang, yang seharusnya tidak berada
disana. Namun, pola seperti itu banyak kita temui dalam karya-karya fiksi.
Belum saya temukan sebuah fiksi dengan nada konstan yang sama. hanya pada
tulisan opini saya menemukan sebuah nada konstan yang menyenangkan. Tulisan milik
Donny Gahral Adian, “Paling tidak ada dua narasi raksasa tentang asal-usul
realitas. Pertama adalah narasi tentang agama-agama monoteis. Narasi yang
berkisah tentang penciptaan alam semesta oleh Tuhan dari ketiadaan.”
Atau tulisan duo maut Tegalboto, Sigit Budhi dan
Shaummil Hadi, dalam majalah Tegalboto Kritik Relasi Timur Barat, “Wiranggaleng
mungkin tidak tahu, jahu di negeri Atas
Angin sana telah terjadi apa yang disebut Renaissance, sebuah fase
kehendak tahu begitu tinggi, kejernihan baru, penyelidikan fenomena alam juga
kemampuan manusia. Zaman ini sering disebut juga dengan zaman eksplorasi.”
Dengan nada konstan seperti itu, membuat pembaca
lebih tahan untuk menyelesaikannya. Lalu, apakah mungkin sebuah tulisan fiksi
bisa memiliki nada konstan seperti itu?
Bagi kalian yang telah memilih untuk sendirian. Mengunci
pintu dan jendela kamar. Menghabiskan puluhan buku. Menekuni lukisan dan
tulisan. Akan ada waktu dimana kalian rindu bersosialisai. Bahkan deru sepeda
motor pembalap liar cukup untuk memaksamu membuka jendela dan mengumpat. Begitu
juga saya, sekarang saya hanya mengalami sebuah kebosanan untuk membaca
diskripsi linier datar. Dan kesialan saya belum menemukan sebuah tulisan fiksi
dengan nada yang konstan.
Akhirnya, saya meminta maaf pada kalian, karena tulisan ini
hanya bicara tentang kesialan dan kebosanan saya.
Namun, sebuah kesialan dan bosan bisa membawa sebuah
pengertian baru. Saya pikir, nada dalam tulisan fiksi berbeda dengan opini dan
artikel popular. Sebab sebuah opini tidak perlu membangun dunia baru. Jadi
wajar ketika Seno berteleh-telah tentang Negri Senjanya, karena dia ingin pembaca
memahami bagiaman sebuah dunia baru yang dia bentuk dalam cahaya ke-jigga-an
itu.
Ada lagi satu tulisan diskripsi linier menjijikan, yang
membuat saya ingin membakar buku itu, adalah The Name Of Rose milik Umberto Eco. Dalam salah satu bab dia dengan kurang ajar, mendeskripsikan sebuah
bangunan abad pertengahan dengan begitu detailnya. Dia menceritakan lukisan
dinding satu persatu, bentuk sebuah bangunan dengan segalah hiasanya.Sampai-sampai dia tahu kapan seorang tokoh berhenti berjalan, dimana tempat yang pas untuk berdiskusi.
Namun dengan cara seperti itu, Eco ingin pembaca tahu
bagimana sebuah dunia abad pertengahan yang dia bangung lagi. Jika kalian tidak
sanggup menyelesaikannya, maka kalian tidak pantas untuk masuk kedalam dunia
baru Eco. Lalu buku itu pun memilih pembacanya sendiri.[]