Hujan telah berhenti mengguyur
sore itu. Aku dan beberapa teman baru ku mencari tempat untuk berdiskusi.
Kita berjalan kaki dari STAIN
Tulungagung, tidak lama menelusuri jalan raya, kita jumpai sebuah tempat.
Disana telah kita dapati beberapa meja yang tertata dengan rapi, tak sempat aku
menghitung berapa banyak kursi dan meja disana. Kita mengambil dua meja panjang,
menyatukannya jadi satu lalu mengitarinya dengan kursi panjang lainnnya. Kita
duduk berkeliling.
Salah satu dari kita mengusulkan
agar memesan lebih dulu. Semua orang setuju. Satu orang menyebutkan satu-satu
menu yang ada di warung. Aku mengangkat tangan ketika terdengar suara
menyebutkan kopi ijo. Sekarang tinggal menunggu pesanan datang.
Laki-laki berkucir, -aku lupa namanya-
memulai diskusi dengan sebuah permasalahan. Aku mencoba memahami persoalan yang
mereka diskusikan tanpa bersuara sedikit pun. Aku pikir ini tentang koordinasi
antar kota, tapi sudahlah bukan hak ku untuk mengambil kesimpulan.
Adzan maghrib berkumandang tepat di seberang
jalan. Pesanan kami datang, aku coba melihat kopi, aku cari yang berwarna hijau
namun tak aku dapati. Seorang wanita mengankat kopi hitam dan berkata: “kopi
ijo”, sesuai petunjuk pelayan. Beberapa orang mengakat tangan termasuk aku.
Sekarang kopi ijo ada di depanku.
Tidak aku pedulikan diskusi di depanku. Aku lihat kopi di depanku tak aku
temukan unsur ijo -hijau- dari kopi ini. mungkin karena terkena lampu. Aku
tutup kopi dengan tangan namun tak berubah warna, aku mulai coba rasanya,
Seperti kopi hitam pada umumnya, Tapi aku dapati sebuah wangi yang berbeda, ya sudahlah
ini hanya kopi.
Pikiranku kembali mengikuti alur
diskusi yang sempat tertinggal tadi, namun pikiranku teralihkan lagi dengan
berlarinya dua orang menuju masjid depan warung. Tak perlu pikir panjang ku ikuti
mereka, mereka mengambil air wudlu berbeda denganku yang pergi kesebelah kiri.
Ada kamar mandi disana, aku masuk tanpa komando dan ku kunci pintu, lalu aku
keluarkan “dia”. setelah selesai aku buka kunci, aku tarik pintu tapi tak
terbuka, sulit. Aku angkat sedikit pintu itu dan aku tarik, masih juga
tertutup. Tenang, tenang, mulai ku bingung, apa aku hubungi arif saja? tapi tak
usalah. Aku coba gedor pintu, tak seorang pun datang, tenang, tenang, lalu aku
coba tarik lagi pintu itu, tetap tak bisa. Aku gedor kembali, tiba-tiba ada
yang datang. Untung, untung, Aku minta tolong untuk membukakan pintu, tapi
tetap tak bisa, katanya terkunci dari dalam. Tenang, tenang, ku lihat kuncinya,
Masya Allah. Ternyata masih terkunci dengan rapinya. Aku buka kuncinya dan tak
aku biarkan kembali terkunci lagi. Lalu aku buka pintu, betapa malunya aku di
depan bapak penolongku itu. sampai saat sholat pun aku masih teringat kajadian
memalukan itu.
Selesai sholat aku kembali
bergabung dengan teman-teman baruku di warung. Mencoba mengikuti kembali
diskusi yang ada, dengan tetap diam memendam kejadian memalukan yang baru saja
aku alami.