Perang Jurnalistik


Didunia akan selalu ada kebaikan dan kejahatan. Begitu juga di dunia jurnalistik, ada wartawan baik dan tidak baik, wartawan yang baik memberitakan kebenaran sedangkan yang lain, hanya berita yang bisa menguntungkam mereka. Itu yang mau diungkapkan oleh Amy Goodmen dan David Goodmen dalam buku  mereka yang berjudul “Perang Demi Uang”.
Kurang lebih ada dua hal yang mau disampaikan dalam buku ini, pertama tentang kebohongan pemerintahan Amerika mengenai perang yang sedang terjadi didunia. Kedua tentang beberapa wartawan yang kehilangan independensinya karena mengharapkan keuntungan dan kehormatan dengan bekerja demi pemilik modal bukan masyarakat.
Uang yang membuat beberapa politisi dan wartawan Amerika berbohong. Alur kebohongan mereka berbedah, politisi berbohong dengan kedok melindungui dunia dari negara yang dituduh mempunyai senjata pemusnah masal, kemudian dengan alasan itu politisi Amerika mengajak dunia untuk memerangi negara yang dicurugai tersebut. Kenapa harus perang? Karena Amerika adalah negara yang memproduksi senjata, jika perang berlangsung maka senjata mereka akan terjual. Untuk wartawan, mereka berbohong untuk keuntungan pemilik modal yang menjadi pemilik media mereka, dengan menutupi keburukan perang. Lalu apa hubungan antara senjata dan pemilik media? Kenyataannya para pemilik media di Amerika juga pemilik dari pabrik senjata di negara adikuasa tersebut, jadi wajar jika pemilik media tidak mengizinkan wartwannya memberitakan keseraman dari perang, agar perang terus berlanjut dan pabrik terus berjalan.
Jika diamati lagi negara yang dicurigai mempunyai senjata pemusna masal berada di Timur Tengah seperti negara Iran, bukan tanpa alasan. Mereka memilih negara timur tengah karena memiliki banyak seumber tambang minyak yang bisa dieksploitasi.
Entah untuk tujuan apa pemerintah AS mempersempit ruang gerak orang-orang berkebangsaan Timur Tengah. Mereka diwajibkan lapor ke Dinas Imigrasi dan Kewarganegaran (Immigration and Naturalizaation Service/INS) untuk registrasi khususu yang diberikan oleh pemerintah AS. Jika ada seditik ketidak wajaran walaupun belum ada penyelidikan warga Timur Tengah akan langsung ditangkap dimasukan penjara atau dipulangkan ke Negara asal mereka.

Kebenaran atau Propaganda

Kebenaran adalah unsur pertama dan yang paling rumit dalam elemen jurnalisme, tapi seorang jurnalis harus mencari kebenaran dengan segalah cara. Berbedah dengan The New York Time, salah satu corong media Amerika ini berperan atas propaganda yang dibuat oleh pemeritahan George W. Bush untuk memojokkan Iran dengan isu pembangunan senjata nuklir. Dan berakibat invasi besar-besaran ke Iran atas nama perdamaian dunai.
Jadi kronologinya, Gedung Putih membocorkan kebohongan pada Times, kemudian surat kabar itu menerbitkannya sebagai ekspos yang mengejutkan. Dan Gedung Putih dengan nyaman berlindung dibalik kredibilitas Times.
Setelah invasi Amerika atas Iran benar-benar terjadi, media-media Amerika mulai membuat sandiwara tentang perang, dimulai dari orang-orang yang dibayar untuk berkata sesuai sekenario media, lalu bicara tentang kehebatan sejata,  berapa banyak senjata yang digunakan dan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kekejaman dari perang. Ingat pemilik media Amerika adalah pembuat senjata.
Namun ada media yang memberitakan kebenaran dalam perang Irak-Amerika, yaitu Al-Jazeera. Sebagai tanda terimakasi militer AS beberapakali mereka melakukan serang. Mulai dari pengeboman di biro Al-Jazeera samapi di hotel para wartawan Al-Jazeera menginap, ancaman pembunuhan juga pernah dilakukan militer AS kepada wartawan Al-Jazeera dan puncaknya media Arab ini dilarang siaran dari Irak selam dua pekan.
Jika media mendapatkan pengeboman, wartawan yang menentang perang akan kehilangan pekerjaan mereka, nama-nama seperti Brent Flynn yang dilarang menulis untuk kolom surat kabar Lewisville Leader karena dia menghadiri demo anti perang dan mengungkap pendapatnya lewat tulisan, ada juga Kurt Houghly wartawan sekaligus kolumnis Huron Daily Tribune keluar dari pekerjaannya karena mendengar kolom antiperang yang ditulisnya akan dihapuskan alasannya meresahkan masyarakat, dan masih banyak warawan yang dipecat atau keluar saat menentang perang.
Saat gelombang pemecatan trus berlangsung ditambah dengan kebijakan baru dari Komisi Komunikasi Federal (FCC) yaitu penghapusan pembatasan jangkauan jaringan televisi yang tidak boleh lebih dari 35% populasi nasional, dan pembatasan kepemilikan silang contohnya suratkabr membeli stasiun televisi atau radio di Kota yang sama. Akibatnya kepentingan publik dikesampingkan media sibuk dengan urusan iklan untuk mengeruk keuntungan.
Untuk mengatasi mesalah tersebut dibutuhkan media yang memiliki independensi yang kuat memberikan berita untuk dan atas nama masyarakat. Sebuah media jenis baru bernama pusat media independen (IMC) didirikan di Seattle. Mereka bertekat melawan kekuasaan perusahaan atas media, memberikan liputan yang tidak disaring dan disampaikan saat itu juga dari sudut pandang sebenarnya.
“Tidak akan mengejutkan bila satu atau dua pusat media ‘independen’ ini berkembang menjadi media besar.” Tulis Monitor dalam artikelnya.[]