Boys



Mimpi bisa indah, terkadang juga menyedihkan. Malam ini, mimipi itu sedih. Dia datang memceritakan sebuah kisah kepergian. Perempuan itu datang dengan marah, tidak tahu apa sebabnya. Memohon untuk segera berpisah. Saya disana hanya mengiyakan.
Hari-hari menjadi menyenangkan. Saya meresa lebih muda, lebih segar, lebih percaya diri. Dan yang paling penting merasa bebas, bebas sebebas-bebasnya. Tidak perlu memikirkan perempuan, dan tidak ada perempuan yang memikirkan.  Saya bisa melakukan apapun. Hampir semua keingin dan kesenang bisa berjalan baik. Saya sempurna.
Tapi jangan melihat saat saya sendiri. Ketika ingin dan senang sudah menguap, dan sempurna hanya tinggal nama. Tidak ada ucapan selamat malam pengantar tidur. Tidak ada yang mengingatkan mandi dan makan. Benar-benar sendiri.
Lalu tangis pecah. Vodka, Tequila, Tia Maria, Margarita, Bloody Mary dan saudara-saudaranya menjadi teman paling menggoda. Membawah pada kesadaran. Tentang dia yang terdorong terlalu jauh, melewati batas-batas yang sudah ditentukan sebelumnya. Memaksanya mengerti tanpa dimengerti. Lalu rentetan penyesalan.
Untungnya semua hanya mimipi. Terbangun dengan wajah pucat berkeringan dingin. Mencari  telepon genggam, menghubungi dia, meminta bertemu.
Di malam lain, dia datang dengan sederhana. Kami duduk berhadapan. Wajahnya tersenyum, lalu berkata
                “sudah ya, saya sudah lelah”
                Sebenarnya saya ingin bilang “jangan,” tapi yang keluar, “silakan, ini hidupmu, ini perasaanmu.”
Lalu dia pergi. Memperlihatkan pungungnya. Garis merah dan putih terlihat dari baju, warna yang selalu menyenangkan di mata. Tapi saya tetap duduk, tidak bisa menangis, enggan untuk menahan. Serangkaian ingatan datang, memberi tawa. Dan saya tertawa, terus tertawa. Sambil berkahyal.
Saya akan berkata maaf, jika itu bisa merubah pikiranmu. Tapi, sudah terlambat, semua kata sudah mejadi buruk. Jadi saya mencoba tetawa, menutupinya dengan kebohongan. Menertawakannya, mereduksi kesedihan.
Saya akan bersujud dibawah kakimu. Dan meminta maaf. Tapi saya tahu ini sudah terlambat. Dan tidak ada yang bisa saya lakukan. Jadi saya mencoba tetawa, menutupinya dengan kebohongan. Menertawakannya, mereduksi kesedihan.
Saya akan memberitahumu, saya mencintaimu. Jika itu bisa membuatmu tetap berada disini. Tapi, tidak ada gunanya, kamu sudah bersiap untuk pergi. Maaf tidak tahu batas-batasmu. Maaf mendorongmu terlalu jahu. Tidak menghirukanmu. Saya tahu kamu butuh saya. Sekarang, saya akan berbuat apapun agar kamu bisa kembali. Tapi, saya hanya tertawa, hiding the tears in my eyes, cause boys don’t cry, boys don’t cry, boys don’t cry.[]